Persatuan, Sunnah & Syi’ah, Mungkinkah? (bagian – 1)

Muhammad Arifin Badri, حفظه الله تعالى.

Upaya mendekatkan pemikiran, kepercayaan, visi dan misi umat Islam merupakan cita-cita syari’at Islam. Yang demikian itu, karena kekuatan, kebangkitan, kejayaan dan tatanan masyarakat serta persatuan umat Islam di setiap masa dan negara tergantung kepadanya..

Setiap seruan kepada pendekatan semacam ini -bila benar-benar bersih dari berbagai kepentingan, dan pada aplikasinya tidak mendatangkan dampak negatif yang lebih besar dibanding kemaslahatannya – maka wajib atas setiap muslim untuk memenuhinya, dan bahu membahu bersama seluruh komponen umat Islam guna mewujudkannya.

Beberapa tahun terakhir, seruan semacam ini ramai dibicarakan orang, kemudian berkembang sampai ada dari sebagian umat Islam yang terpengaruh dengannya. Tak luput darinya Universitas Al Azhar, suatu lembaga pendidikan agama Islam paling terkenal dan terbesar yang dimiliki oleh Ahlus Sunnah, yang menisbatkan dirinya kepada empat Mazhab Fiqih . Hal ini menyebabkan Universitas Al Azhar melebarkan misi “Pendekatan” melebihi misi yang sebelumnya ia emban sejak masa Sholahuddin Al Ayyuby.

Pengaruh ini telah mengakibatkan Al Azhar keluar dari misi awalnya itu kepada upaya mengenal berbagai Mazhab lainnya, terutama “Mazhab Syi’ah Al Imamiyyah Al Itsnai ‘Asyariyah”. Walaupun dalam hal ini, Al Azhar masih berada di awal perjalanan.

Oleh karenanya, sangat urgen bagi setiap muslim yang berkompeten, untuk mengkaji, mempelajari, dan memapaparkan masalah ini. Kajian yang bertujuan menggali segala hal yang terkait dengan mempertimbangkan segala dampak dan resiko yang mungkin terjadi.

Dikarenakan berbagai permasalahan dalam agama sangat rumit, maka penyelesaiannyapun haruslah dengan cara yang bijak, cerdas dan tepat. Dan hendaknya orang yang mengkajinya-pun benar-benar menguasai segala aspeknya, berilmu, dan obyektif dalam setiap kajian dan kesimpulannya. Dengan demikian solusi yang ditempuh -dengan izin Allah- benar-benar membuahkan hasil yang diinginkan dan mendatangkan berbagai dampak positif.

Menurut hemat kami, syarat pertama agar perihal ini -juga setiap perkara yang berkaitan dengan berbagai pihak- berhasil adalah adanya interaksi dari kedua belah pihak atau seluruh pihak terkait.

Kita contohkan dengan perkara pendekatan antara Ahlus Sunnah dengan sekte Syi’ah. Guna merealisasikan seruan taqrib antara kedua paham ini didirikanlah suatu lembaga di Mesir, yang didanai oleh anggaran belanja negara yang berpaham Syi’ah. Negara dengan paham Syi’ah ini telah memberikan bantuan resmi tersebut hanya kepada kita.

Akan tetapi, mereka tidak pernah memberikan hal tersebut kepada bangsa dan penganut pahamnya sendiri. Mereka tidak pernah memberikan bantuan ini guna mendirikan “Lembaga Pendekatan” di kota Teheran, atau Qum, atau Najef atau Jabal ‘Amil, atau tempet-tempat lain yang merupakan pusat pengajaran dan penyebaran paham Syi’ah.

Bahkan sebaliknya, beberapa tahun terakhir ini dari berbagai pusat pengajaran dan penyebaran paham Syi’ah tersebut diterbitkan berbagai buku yang meruntuhkan impian solidaritas dan taqrib. Buku-buku yang menjadikan bulu roma kita berdiri. Diantara buku-buku tersebut adalah buku (Az Zahra) tiga jilid, yang diedarkan oleh ulama’ kota Najef. Pada buku tersebut, mereka mengisahkan bahwa Amirul Mukminin Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu, ditimpa suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan selain dengan air mani kaum lelaki!!? Buku tersebut berhasil didapatkan oleh ustadz Al Basyir Al Ibrahimy, ketua Ulama’ Al Geria (Al Jazaer) pada kunjungan pertamanya ke Iraq.

Sebenarnya, orang orang yang berjiwa kotor yang telah mencetuskan paham keji semacam ini, merekalah yang pantas untuk mendekatkan dirinya kepada Ahlus Sunnah, bukan sebaliknya.

Sebagai contoh: Diantara perbedaan paling mendasar antara kita dengan mereka berkisar seputar:
1. Dakwaan bahwa mereka lebih loyal dibanding kita kepada Ahlul Bait .
2. Dan sikap mereka yang menyembunyikan –bahkan menampakkan- kebencian dan permusuhan kepada para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal kita semua mengetahui bahwa diatas pundak merekalah agama Islam tegak. Kebencian ini menjadikan mereka berani melemparkan tuduhan keji semacam ini kepada Amirul Mukminin Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu.

Andai mereka bersikap obyektif, niscaya mereka lebih dahulu mengurangi kebencian dan permusuhan mereka kepada para imam generasi pertama umat Islam ini. Kemudian mereka bersyukur kepada Ahlus Sunnah atas sikapnya yang terpuji terhadap para Ahlul Bait.

Ahlus sunnah tidak pernah lalai dari kewajiban menghormati dan memuliakan mereka (ahlul bait).

Lain halnya bila yang dimaksudkan dengan penghormatan kepada ahlul bait adalah: menjadikan mereka sebagai sesembahan yang diibadahi bersama Allah, sebagaimana yang mereka lakukan di berbagai kuburan ahul bait yang berada di tengah-tengah penganut paham Syi’ah.

Interaksi harus dilakukan secara imbal balik antara kedua belah pihak yang diinginkan untuk terjalin toleransi dan pendekatan antara keduanya. Akan tetapi interaksi tidak akan pernah terwujud selain dengan mempertemukan antara yang positif dan yang negatif (pro dan kontra). Sebagaimana interaksi juga tidak akan pernah terealisasi bila berbagai gerak dakwah dan aplikasinya hanya terfokus pada satu pihak semata, sebagaimana yang terjadi sekarang ini

Sebagaimana kami mengkriti keberadaan lembaga taqrib tunggal yang berpusatkan di ibu kota negeri Ahlus Sunnah, yaitu Mesir ini, karena tidak diimbangi oleh pusat-pusat kota negri Mazhab Syi’ah.

Bahkan berbagai pusat penyebaran paham Syi’ah itu gencar mengajarkannya, dan memusuhi paham lain. Kami juga mengkritiki upaya memasukkan permasalahan ini sebagai mata kuliah di Universitas Al Azhar, selama hal yang sama tidak dilakukan di berbagai perguruan Syi’ah.

Disebabkan upaya ini -sebagaimana yang sekarang terjadi- hanya diterapkan sepihak, maka tidak akan pernah berhasil. Bahkan tidak menutup kemungkinan malah menimbulkan interaksi balik yang tidak terpuji.

Termasuk cara paling sederhana dalam mengadakan pengenalan ialah dengan memulainya dari permasalahan furu’ sebelum membahas berbagai permasalahan ushul (prinsip)!.

Ilmu Fiqih Ahlus Sunnah dan Ilmu Fiqih Syi’ah tidaklah bersumberkan dari dalil-dalil yang disepakati antara kedua kelompok. Dasar-dasar fiqih keempat Imam Mazhab Ahlus Sunnah berbeda dengan dasar-dasar fiqih Syi’ah.

Selama tidak terjadi penyatuan dasar-dasar dan ushul sebelum kita mengkaji berbagai permasalahan furu’. Selama tidak ada penyatuan persepsi kedua belah pihak dalam sumber-sumber hukum, yang diimplementasikan pada lembaga-lembaga pendidikan agama yang mereka miliki, maka tidak ada gunanya kita menyia-nyiakan waktu membahas permasalahan furu’. Yang kita maksudkan bukan hanya ilmu ushul fiqih, akan tetapi ushul/dasar-dasar agama kedua belah pihak dari akar permasalahannya yang paling mendasar.

(dinukil dari buku: Mungkinkah Sunnah dan SYi’ah Bersatu?
(Sebuah Tinjauan Kritis Terhadap Prinsip-prinsip Dasar
Sekte Syi’ah Imamiyah Itsnai ‘Asyariyah) Oleh: SYeikh Muhibbuddin Al-Khathiib

Bersambung ;……

Raihlah pahala dan kebaikan dengan membagikan link kajian Islam yang bermanfaat ini, melalui jejaring sosial Facebook, Twitter yang Anda miliki. Semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala membalas kebaikan Anda.