Firanda Andirja, حفظه الله تعالى
Sesungguhnya pelit itu ada dua tingkatan, pelit terhadap orang lain, dan yang paling parah adalah pelit terhadap diri sendiri.
Dia pelit tidak mau keluar uang agar bisa mengumpulkan harta dan menjadi orang kaya, namun pada hakekatnya ia telah terjerumus dalam kemiskinan hidup yang ia ingin lari darinya, dan ia telah terjauhkan dari kekayaan yang justru sedang ia kejar.
Bahkan yang tersiksa bukan hanya dirinya sendiri, anak-anak dan istrinya pun harus menjalani gaya hidup “faqir” nya tersebut.
Di akhirat iapun harus menjalani hisab yang panjang karena hartanya yang ia tumpuk.
Sebagaimana dikatakan tentang si bakhil ini :
يَعِيْشُ فِي الدُّنْيَا عَيْشَ اْلفُقَرَاءِ وَيُحَاسَبُ فِي الآخِرَةِ حِسَابَ الأَغْنِيَاءِ
(Ia hidup di dunia seperti hidupnya kaum faqir sementara ia dihisab dengan hisab orang-orang kaya)
Sesungguhnya yang Allah kehendaki adalah kehidupan yang sedang, tidak pelit dan tidak juga boros. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّ اللهَ إِذَا أَنْعَمَ على عَبْدٍ نِعْمَةً يُحِبُّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ على عَبْدِه
“Sesungguhnya Allah jika memberi kepada hambaNya sebuah kenikmatan maka Allah suka melihat dampak nikmat tersebut pada hambaNya”
Maka jangan sempai orang yang diberi kecukupan menampaKkan seakan-akan ia hidup dalam kekurangan, tapi jangan pula berlebihan dan boros yang menjerumuskan dalam kesombongan.