Dana Riba… Mengapa Dikumpulkan dan Dimanfa’atkan..?

Yang pertama harus diketahui, bahwa para ulama sepakat bahwa RIBA merupakan dosa besar, karena adanya ancaman khusus padanya, bahkan Allah sangat keras mengecam dosa riba ini dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ * فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ

“Wahai orang-orang yang beriman, takutlah kalian kepada Allah, dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian benar-benar orang yang beriman. Jika kalian tidak melakukan (hal itu), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu”. [Albaqoroh: 278-279.

Begitu pula Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, beliau sangat keras mengecam dosa riba ini, diantaranya dalam sabdanya:

الربا اثنان وسبعون بابا، أدناها مثل إتيان الرجل أمه

“Riba itu ada 70 pintu, pintu yang paling ringan seperti jika seseorang menggauli (menzinahi) ibunya”. [HR. At-Thabarani: 7151, disahihkan oleh Sy Albani dalam As-Shahihah: 1871.

Jika demikian, mengapa masih ingin mengumpulkan harta riba ?

Sungguh tidak ada maksud dari kami untuk menganjurkan manusia agar menghasilkan harta riba sebanyak-banyaknya. Bahkan kami ingin tidak ada harta riba sedikit pun di dunia ini, karena harta riba adalah harta haram.

Yang kami lakukan dalam program pengumpulan harta riba hanyalah usaha kami untuk memberikan solusi bagi mereka yang memiliki harta riba, mau dikemanakan harta tersebut, mengingat harta riba seperti itu dianggap tidak ada pemiliknya secara syariat, karena larangan riba itu berhubungan dengan hak Allah.

Apabila harta tersebut dibiarkan, tentu mudharatnya lebih besar, karena kita diperintah untuk membebaskan diri dari harta yang diharamkan… belum lagi sangat dimungkinkan pihak bank akan memanfaatkannya untuk kegiatan mereka.

Apabila harta dibuang atau dibakar, tentu mudharatnya juga lebih besar, karena akan banyak uang negara yang hilang di pasaran, dan itu akan mengganggu kebutuhan orang banyak.

Apabila diberikan kepada orang atau lembaga yang tidak baik, juga mudharatnya akan lebih besar, karena itu hanya akan menguatkan posisi mereka.

Sehingga tidak ada pilihan lain, kecuali mengumpulkannya untuk tujuan kemaslahatan kaum muslimin secara umum, seperti pembangunan jalan, penerangan jalan, pembangunan taman, penghijauan, pembuatan wc umum, pengadaaan lapangan, dan yang semisalnya.

Adapun hal-hal yang berhubungan dengan ibadah, seperti: masjid, mushaf, kegiatan dakwah, dan yang semisalnya, maka sudah sepantasnya dijauhkan dari harta riba ini… karena itu merupakan hal-hal yang Allah sucikan, maka sudah selayaknya kita juga mensucikannya dari harta yang kotor tersebut, wallohu a’lam.

Mungkin masih ada yang mengganjal dalam hal ini, bagaimana harta riba yang diharamkan boleh kita pakai dan kita manfaatkan ?

Ini telah dijawab oleh sebagian ulama, dengan mengatakan, bahwa keburukan harta riba BUKANLAH pada dzatnya, namun pada cara mendapatkannya, sehingga tidak dibenarkan untuk membuangnya atau merusaknya.

Hal ini sebagaimana harta rampasan perang, dibolehkan dalam islam untuk memanfaatkannya, padahal sumber harta orang kafir bisa jadi dari penjualan babi, minuman keras, judi, riba, dan sumber-sumber yang diharamkan oleh Islam, namun begitu setelah menjadi harta rampasan perang boleh digunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin.

Begitu pula halnya dalam masalah upah dari perzinaan, atau perdukunan, atau pekerjaan haram lainnya.. harta tersebut tidak boleh dirusak atau dibuang, karena yang buruk bukan dzat hartanya, namun cara mendapatkannya.. Maka solusi yang tepat dalam harta yang demikian adalah dengan membebaskan diri dari harta tersebut, dan menyalurkannya untuk kemaslahatan manusia secara umum, wallohu a’lam.

Untuk menguatkan kesimpulan di atas, maka di sini kami bawakan beberapa fatwa dari para ulama ahlussunnah yang berkaitan dengan masalah ini:

Fatwa Lajnah Daimah (komite tetap untuk fatwa) Saudi Arabia:

“Keuntungan (bunga) yang kamu ambil sebelum tahu haramnya bunga tersebut; kami berharap Allah mengampunimu dalam hal itu. Adapun bunga yang kamu ambil setelah tahu keharamannya, maka yang diwajibkan kepadamu adalah membebaskan dirimu darinya, dan menginfakkannya dalam jalan-jalan kebaikan: seperti diberikan kepada orang-orang fakir, para mujahidin fi sabilillah. Dan juga harus bertaubat kepada Allah dari tindakan melakukan riba setelah tahu (keharamannya)”. [Kitab: Fatawa Lajnah Da’imah 1, jilid 13/352].

Fatwa Syeikh Binbaz -rohimahulloh-:

“Adapun keuntungan (bunga) yang diberikan bank kepadamu, maka jangan kamu kembalikan kepada bank, dan juga jangan kamu makan, tapi gunakanlah untuk jalan-jalan kebaikan, seperti memberikannya kapada para fakir miskin, memperbaiki toilet, dan membantu orang-orang yang punya tanggungan dan tidak tidak mampu membayar hutangnya”. [Kitab: Fatawa Islamiyah 2/407].

Fatwa Syaikh Shalih Al-Munajjid -hafizhahullah-:

Menempatkan uang di bank dengan imbalan keuntungan (bunga) adalah riba, dan itu termasuk dosa besar… Apabila seorang muslim terpaksa menempatkan uangnya di bank, karena dia tidak menemukan sarana untuk menyimpan uangnya kecuali menempatkannya di bank, maka hal tersebut-insyaAllah- tidak mengapa dengan dua syarat:
1. Dia tidak mengambil imbalan bunga yang diberikan.
2. Transaksi Bank tersebut tidak seratus persen riba, tapi ada sebagian kegiatan (transaksi) nya yang mubah (dibolehkan) untuk mengembangkan uangnya.

Dan tidak boleh mengambil manfaat dari bunga riba yang diberikan bank kepada para nasabah, tapi mereka wajib membebaskan dirinya dari bunga riba itu (dengan menyalurkannya) pada jalan-jalan kebaikan yang bermacam-macam”. [Sumber: https://islamqa.info/ar/23346].

Demikian penjelasan ini kami buat, semoga bermanfaat…

Ustadz DR. Musyaffa’ Ad Dariny MA,  حفظه الله تعالى 

============

ARTIKEL TERKAIT – (Klik Link Dibawah Ini)

Kumpulan Artikel – Tentang RIBA…

Raihlah pahala dan kebaikan dengan membagikan link kajian Islam yang bermanfaat ini, melalui jejaring sosial Facebook, Twitter yang Anda miliki. Semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala membalas kebaikan Anda.