Namanya murid, biasanya kurang ilmu, sedangkan guru biasanya lebih banyak ilmu, -biasanya loo, ndak selalu, sehingga wajar bila guru mengetahui banyak hal yang belum dan tidak diketahui atau dipahami oleh murid. Karenanya, satu kepastian bila murid bersikap santun dan sabar dalam menuntut ilmu, dan bersyukur bila gurunya mengajarinya atau mencontohkan kepadanya berbagai hal yang belum ia ketahui atau belum pernah ia dengar sebelumnya. Sebagaimana, guru juga sepatutnya bersabar mengajari muridnya berbagai ilmu yang belum dipahami dan dikuasai oleh muridnya.
Kondisi menjadi berubah seutuhnya, bila murid menjadi berang setiap kali mendengar gurunya menyampaikan hal yang belum ia pahami atau dengar, dengan tanpa santun, sang murid berkata: wahai guru! Sangat aneh apa yang engkau sampaikan ini, karena selama aku belajar, belum pernah mendengar dan belum pernah mengetahui apa engkau sampaikan ini! Seakan murid lupa kalau dia belajar tuh untuk menimba sesuatu yang belum dia pahami atau ketahui.
Sebagaimana kondisi akan kacau balau bila guru selalu berang bila mengetahui muridnya belum paham banyak hal yang telah lama ia pahami, lalu berkata: muridku, masalah begini saja engkau belum paham dan belum tahu, padahal sudah sekian lama saya mengetahui masalah ini.
Murid bengal, guru congkak, tamatlah ilmu, dan berakhir pula kisah panjang menuntut ilmu dan mengajarkannya. Bila sudah demikian, maka kebodohanlah yang tersisa.
Abdullah bin Syaqiq bercerita: Suatu hari selepas shalat Asar, sahabat Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma berkhutbah, untuk menenangkan masyarakat yang sedang terprovokasi untuk melakukan pemberontakan. Karena begitu gentingnya kondisi saat itu, beliau dengan berapi api terus berkhutbah, hingga matahari terbenam. Sepontan sebagian masyarakat yang hadir kala itu, mulai kasak-kusuk dan berkata: sholat, sholat . Namun sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu terus berkhutbah berusaha meredam gejolak perang saudara. Merasa seruan mereka agar beliau berhenti dari khutbahnya dan segera mendirikan sholat Maghrib, ada seorang lelaki dari Bani Tamim yang bangkit, seakan tidak dapat dikendalikan lagi, berteriak dengan suara lantang: sholat, sholat.
Mendengar teriakan lelaki tersebut, sahabat Ibnu Abbas berkata:
أَتُعَلِّمُنِى بِالسُّنَّةِ لاَ أُمَّ لَكَ. ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ.
Apakah engkau hendak mengajariku tentang sunnah (agama)? Engkau lelaki yang tiada memiliki ibu. Selanjutnya beliau berkata: Sungguh aku pernah menyaksikan Rasulullah shalalahu ‘alaihi wa sallam menjama’ (menggabungkan) sholat Zuhur dengan Ashar, Maghrib dengan Isya’.
Abdullah bin Syaqiq merasa ragu dengan pernyataan sahabat Ibnu Abbas ini, sehingga ia merasa perlu untuk mencari tahu dengan cara mendatangi sahabat Abu Hurairah radhiallau ‘anhu, untuk menanyakan pernyataan sahabat Ibnu Abbas di atas, dan ternyata sahabat Abu Hurairah membenarkan pernyataan sahabat Ibnu Abbas radhiallau ‘anhuma (Muslim dan lainnya)
Para ulama’ menjelaskan bahwa bila ada kebutuhan yang sangat mendesak dan tidak bisa ditunda, semisal yang sedang dihadapi oleh sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, atau semisal dokter yang harus menjalankan oprasi pasiennya, dan tidak bisa dihentikan atau ditunda walau hanya sesaat, semisal petugas pemadam kebakaran yang harus menjalankan tugasnya, maka mereka dibolehkan menjama’ sholat, walau tidak sedang dalam kondisi safar.
Namun lihatlah, perbedaan sikap kedua orang di atas, lelaki dari Bani Tamim bersikap tidak santun, alias bengal, hanya berdasar keterbatasan ilmunya ia menentang, akhirnya ia kehilangan ilmu. Sedangkan Abdullah bin Syaqiq, bersikap santun dan menyadari keterbatasannya, sehingga ia mencari tahu dengan mendatangi sahabat Abu Hurairah yang terkenal paling banyak menghafal hadits hadits Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam, dan akhirnya ia mendapatkan kejelasan dan tambahan ilmu.
Ya kisah di atas adalah contoh sederhana sikap murid bengal yang memaksa gurunya menuruti kebodohannya. Ia tidak menyadari bahwa dirinya belum gaduk kuping, alias minim ilmu, namun tanpa ragu ragu menghardik orang yang berilmu.
Kisah di atas juga menyimpan kisah sikap seora ng murid bijak dan pandai, semisal Abdullah bin Syaqiq. Contoh sikap penuntut ilmu yang kini mulai luntur, oleh semboyan: ndak kenal basa basi, dan keterbukaan informasi.
Kisah di atas juga merupakan contoh sikap seorang guru yang tegar dengan ilmunya, ia berusaha memadamkan api perang saudara, dengan menggunakan keringanan (rukhshah), yaitu menjama’ sholat. Dengan ilmunya, beliau dapat mengurutkan berbagai masalah sesuai dengan skala prioritasnya, dan dapat menerapkan sunnah secara proporsional.
Sobat! Awas ya, jangan jadi murid bengal dan jangan pula menjadi guru congkak.
Muhammad Arifin Badri, حفظه الله تعالى