107. Tj – 235
Pertanyaan:
ustadz, Ana mau tanya tentang ini Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Badai’ul Fawaid: Pasal Tentang Istimta’ (onani): “Jika seorang wanita tidak bersuami yang syahwatnya memuncak, maka sebagian ulama kami berkata, “Boleh baginya mengambil kulit lunak yang
berbentuk batang dzakar atau mengambil ketimun atau terong berukuran mini lalu ia masukkan ke dalam (ma’af) kemaluannya.” [Badai’ul Fawaid juz 4 hal. 1471-1472]. Bagaimana hukumnya ?
Jawaban:
1) Mengenai Pasal Onani dalam kitab Badai’ul Fawaid, yang kami ketahui ini salah satu fitnah yang disebarkan kaum Syi’ah untuk mencela Ahlus Sunnah dengan menyebarkan berbagai kedustaan murahan kepada kaum muslimin awam. Apa yang mereka sebarkan merupakan bagian dari Fatwa Syaikhul Islam Al-’Allamah Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah yang telah dipotong (tidak utuh) untuk disajikan kepada kita.
Inilah nukilan (perkataan Al-’Allamah Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Badai’u Fawa’id, -admin) selengkapnya meskipun hanya sebagian…
إذا قدر الرجل على التزوج أو التسري حرم عليه الاستمناء بيده . قال ابن عقيل : قال : وأصحابنا وشيخنا لم يذكروا سوى الكراهة لم يطلقوا التحريم . قال : وإن لم يقدر على ز… وجة ولا سرية ولا شهوة له تحمله على الزنا حرم عليه الاستمناء ، لأنه استمتاع بنفسه والآية تمنع منه ، وإن كان متردد الحال بين الفتور والشهوة ولا زوجة له ولا أمة ولا ما يتزوج به كره . ولم يحرم وإن كان مغلوباً على شهوته يخاف العنت كالأسير والمسافر والفقير جاز له ذلك نص عليه أحمد . وروي أن الصحابة كانوا يفعلونه في غزواتهم وأسفارهم وإن كانت امرأة لا زوج لها ، واشتدت غلمتها فقال بعض أصحابنا : يجوز لها اتخاذ الأكرنبج وهو شيء يعمل من جلود على صورة الذكر فتستدخله المرأة أو ما أشبه ذلك من قثاء وقرع صغار . قال : والصحيح عندي أنه لا يباح ، لأن النبي صلى الله عليه وسلم إنما أرشد صاحب الشهوة إذا عجز عن الزواج إلى الصوم . ولو كان هناك معنى غيره لذكره . وإذا اشتهى وصور في نفسه شخصاً أو دعي باسمه . فإن كان زوجة أو أمة له فلا بأس إذا كان غائباً عنها
artinya :
Jika seorang laki-laki mampu untuk menikahi atau melakukan persetubuhan dengan budak maka haram baginya untuk melakukan onani dengan tangannya, telah berkata Ibnu Uqail, dan telah berkata sebagian sahabat-sahabat kami dan guru-guru kami bahwa mereka tidak menyebutkannya selain dibencinya hal itu walaupun mereka belum memutlakkan pengharamannya, dan berkata lagi, jika tidak mampu untuk menikah atau dengan budak yang dimiliki maka janganlah ia membiarkan syahwatnya menggiringnya kepada perzinahan dengan sebab onani itu, karena hal itu termasuk perkara yang mempermainkan nafsu dan ayat melarang dari berbuat demikian, …….. -(((((((((((( dan diriwayatkan dari sebagian shahabat bahwasanya mereka melakukan (onani) ketika mereka berperang dan safar dan bagi seorang perempuan yang tidak memiliki suami, dan jika nafsunya memuncak maka berkata sebagian sahabat kami, boleh bagi mereka (perempuan) untuk mengambil kulit lunak yang berbentuk batang dzakar atau mengambil ketimun atau terong berukuran mini lalu ia masukkan ke dalam))))))))))))))), dan berkata dalam hal ini: yang shohih bahwa hal ini di sisi kami tidak boleh karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya menganjurkan shoum kepada mereka yang merasakan syahwat jika tidak mampu untuk nikah, walaupun di sana ada makna selain yang telah disebutkan, ……….. (selesai, dan hanya diterjemahkan sebagian saja)
Kedustaan dan kebodohan dari penukilan ini (semoga Allah memberikannya hidayah):
1. Menisbatkan perkataan ini kepada Imam Ibnul Qoyyim
2. Tidak mengetahui penggunaan kata ruwiya, itu adalah bentuk penukilan dengan isyarat akan lemahnya nukilan tersebut
3. Tidak menyebutkan penjelasan secara utuh dan hanya memotong sebagian kalimat
4. Tidak menjelaskan perincian dari Imam Ibnul Qoyyim terhadap perkara istimna’ pada perempuan bahwasanya beliau menjelaskan perkara ini tidak boleh,
5. Membuat opini kepada para pembaca bahwa Ibnul Qoyyim-lah yang membolehkan perkara ini, padahal ini hanya berupa kutipan dan telah dijawab sendiri oleh Imam tentang perkara yang seharusnya (yaitu shoum bagi mereka yang belum mampu nikah, karena membiarkan diri membiasakan untuk memperturutkan hawa nafsu akan menggiring kepada perzinahan).
2) Mengenai hukum Onani sendiri, selain yang telah disampaikan oleh Ibnu Qayyim (secara utuh), berikut ini adalah fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin :
Melakukan kebiasaan tersembunyi (onani), yaitu mengeluarkan mani dengan tangan atau lainnya hukumnya adalah haram berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Sunnah serta penelitian yang benar.
Al-Qur’an mengatakan.
“Artinya : Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampui batas” [Al-Mu’minun : 5-7]
Siapa saja mengikuti dorongan syahwatnya bukan pada istrinya atau budaknya, maka ia telah “mencari yang di balik itu”, dan berarti ia melanggar batas berdasarkan ayat di atas.
Rasulllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kemampuan hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih menundukkan mata dan lebih menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum mampu hendaknya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya”
Pada hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tidak mampu menikah agar berpuasa. Kalau sekiranya melakukan onani itu boleh, tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya. Oleh karena beliau tidak menganjurkannya, padahal mudah dilakukan, maka secara pasti dapat diketahui bahwa melakukan onani itu tidak boleh.
Penelitian yang benar pun telah membuktikan banyak bahaya yang timbul akibat kebiasaan tersembunyi itu, sebagaimana telah dijelaskan oleh para dokter. Ada bahayanya yang kembali kepada tubuh dan kepada system reproduksi, kepada fikiran dan juga kepada sikap. Bahkan dapat menghambat pernikahan yang sesungguhnya. Sebab apabila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan biologisnya dengan cara seperti itu, maka boleh jadi ia tidak menghiraukan pernikahan.
[As-ilah Muhimmah Ajaba ‘Alaiha Ibnu Utsaimin, hal. 9]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]