Syeikh Thonthowi rohimahullah mengatakan:
“Setelah kita dididik dalam kehidupan yang keras (berat), sekarang kita malah khawatir kerasnya kehidupan itu berefek buruk terhadap anak-anak kita.
Dan kita terus mengkhawatirkan mereka bahkan pada hal-hal yang biasa seperti lapar dan dahaga, sehingga kita memberi mereka makan berlebih, kita biarkan mereka malas-malasan dan tidur-tiduran, kita tidak membangunkan mereka untuk sholat, dan kita tidak membebani mereka dengan tanggung jawab karena alasan kasihan kepada mereka.
Akhirnya kita yang melakukan semua pekerjaan mereka, menyiapkan semua kebutuhan mereka, menyiapkan segala hal yang bisa meringankan mereka, bahkan kita harus mengurangi tidur agar bisa membangunkan mereka untuk belajar.
Pendidikan apakah ini ?
Apa salah kita, sehingga harus menanggung urusan kita dan urusan mereka ?
Bukankah kita juga manusia seperti mereka ?
Bukankah kemampuan dan kekuatan kita terbatas ?
Sungguh kita sebenarnya telah melatih anak kita dengan “ketergantungan” kepada orang lain, bahkan dengan egoisme.. Sungguh tidak adil, bila seorang ibu mengerjakan semua kewajiban anak-anaknya, sedang mereka duduk menontonnya. Harusnya setiap orang punya bagian tanggung jawab.
Allah telah menjadikan anak-anak kita bagian kekuatan kita.. Dia juga memerintahkan mereka untuk berbakti pada kita.. Tapi kita malah membalik keadaan ini.. Kita malah yang berbakti kepada mereka, bahkan meminta dengan memelas agar mereka ridho kepada kita.
Memanjakan anak bila berlebihan, justru akan berefek buruk.. Itu akan menjadikan mereka tidak memiliki kemampuan, tidak dapat memberi sumbangsih, bisanya meminta dan meminta.
Pendidikan seperti ini akan menghilangkan empati seorang anak terhadap orang lain (termasuk kepada ibu bapaknya).. tidak ada masalah baginya, mencari enaknya sendiri, walaupun harus membuat mereka begadang dan kecapean.
Aku sungguh heran, apa masalahnya bila kita memberi si anak tanggung jawab ?
Bukankah sangat baik bila dia mengerjakannya dan berhasil ?
Kalau dia merasa berat dan sakit, maka itu wajar, agar dia sadar bahwa dunia adalah tempat bersusah payah.. tidak mungkin lari dari kesusahan hidup dalam rangka mencapai kemenangan dan kesuksesan.
Ibu yang bijak akan membiarkan anaknya mengambil sebagian tanggung jawab.. dan membantunya dengan arahan-arahannya.. sehingga dia menjadi dewasa, dan akhirnya mampu menghadapi tanggung jawabnya sendiri”
Diterjemahkan oleh,
Ustadz Dr. Musyaffa’ Ad Dariny MA, حفظه الله تعالى