Sunnah ini lebih terlihat pada seorang imam dalam sholat, meskipun sebenarnya berlaku juga bagi selain imam.
Itulah sunnah “berdiam sejenak setelah selesai membaca surat” (sebelum beralih ke ruku’).
Sebaliknya, seringkali seorang imam berdiam lama setelah membaca Alfatihah (sebelum membaca surat), dengan alasan ingin memberikan kesempatan bagi makmum untuk membaca Alfatihah, padahal hal tersebut tidak memiliki sandaran hadits yang shohih.
Intinya, setelah membaca Alfatihah sunnahnya tidak berdiam lama, tapi hendaknya berdiam sejenak untuk persiapan membaca surat setelah Alfatihah saja, bukan berdiam lama sekedar makmum membaca Alfatihah.
Dan setelah membaca surat, sunnahnya berdiam sejenak dan tidak langsung ruku’, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam.
Syeikhul Islam -rohimahulloh- mengatakan :
“Tidak disunnahkan bagi imam, untuk berdiam agar makmumnya bisa membaca (Alfatihah) menurut pendapat mayoritas ulama, dan inilah madzhabnya (Imam) Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin Hambal dan yang lainnya.
Hujjah mereka dalam hal ini adalah (hadits) bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berdiam agar para makmumnya membaca (Alfatihah), dan tidak ada satu orangpun yang menukil hal itu.
Bahkan telah valid dari beliau dalam kitab shohih, tentang berdiamnya beliau setelah takbiirotul ihrom. Dalam kitab sunan (empat) disebutkan bahwa :
“dahulu Beliau (saat berdiri dalam sholat) memiliki dua waktu berdiam; berdiam di awal bacaan, dan berdiam di akhir bacaan” dan itu adalah berdiam sejenak untuk pemisah saja, dan tidak cukup untuk membaca Alfatihah..” [Alfatawal Kubro 2/292].
Syeikh Binbaz -rohimahulloh- juga mengatakan :
“Yang valid dalam beberapa hadits adalah dua waktu berdiam. Pertama: setelah takbiirotul ihrom, dan ini disebut berdiam untuk membaca doa istiftah. Kedua: di akhir bacaan sebelum imam ruku’, dan ini adalah berdiam sejenak, yang memisahkan antara bacaan dengan ruku’.
Dan ada riwayat tentang waktu berdiam yang ketiga, (yaitu) setelah membaca Alfatihah, namun hadits yang menjelaskannya “lemah”, dan tidak ada dalil yang jelas padanya, sehingga afdholnya ditinggalkan.
Adapun penyebutan bahwa berdiam di saat itu merupakan bid’ah, maka itu tidak benar, karena perselisihan dalam masalah itu sudah masyhur di kalangan ulama, dan ada syubhat bagi orang yang menganjurkannya, sehingga tidak sepantasnya masalah ini disikapi dengan keras..”
[Majmu’ Fatawa Syeikh Binbaz 11/84]
Diterjemahkan oleh,
Ustadz Musyaffa’ Ad Dariny MA, حفظه الله تعالى