Debat Ibnu Abbas Dengan Khawarij

Ustadz Abu Yahya Ammi Nur Baits, Lc, حفظه الله تعالى

Sepulang dari peritiwa Shiffin (perang antara Ali dengan Muawiyah), Ali bin Abi Thalib bersama seluruh pasukannya kembali ke Kufah. Beberapa mil sebelum sampai Kufah, ada sekitar 14 ribu orang (menurut riwayat Abdurrazaq dalam Mushannaf) yang memisahkan diri dari jamaah dan mencari jalur yang berbeda. Mereka tidak terima dengan genjatan senjata antara Ali dengan Muawiyah.

Peristiwa tahkim, kesepakatan damai antara Ali dengan Muawiyah radhiyallahu ‘anhuma, yang diwakilkan kepada dua sahabat Abu Musa Al-Asy’ari dan Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, menjadi pemicu sebagian masyarakat yang sok tahu dengan dalil untuk mengkafirkan Ali bin Abi Thalib. Karena peristiwa ini, pada saat Ali bin Abi Thalib berkhutbah, banyak orang meneriakkan:

لَا حُكْمَ إِلَّا لِلَّهِ
“Tidak ada hukum, kecuali hanya milik Allah.”

Mereka beranggapan, Ali telah menyerahkan hukum kepada manusia (Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu)

Ali tetap melanjutkan perjalanan hingga sampai di Kufah. Ali sangat berharap mereka mau kembali bergabung bersamanya. Untuk tujuan itu, beliau mengutus Ibnu Abbas agar berdialog dengan mereka.

Ibnu Abbas menceritakan,
Jubah terbaik dari Yaman segera kupakai, kurapikan rambutku, dan kulangkahkan kaki ini hingga masuk di barisan mereka di tengah siang.”

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Sungguh aku dapati diriku masuk di tengah kaum yang belum pernah sama sekali kujumpai satu kaum yang sangat bersemangat dalam ibadah seperti mereka. Dahi-dahi penuh luka bekas sujud, tangan-tangan menebal bagaikan lutut-lutut unta. Wajah-wajah mereka pucat karena tidak tidur, menghabiskan malam untuk beribadah.

‘Selamat datang wahai Ibnu Abbas, misi apa yang anda bawa?’
‘Aku datang dari sisi seorang sahabat nabi, menantu beliau. Al-Quran turun kepada para sahabat, dan mereka lebih paham tentang tafsir Al-Quran dari pada kalian. Sementara tidak ada satupun sahabat di tengah kalian. Sampaikan kepadaku, apa yang menyebabkan kalian membenci para sahabat Rasulullah dan putra paman beliau (Ali bin Abi Thalib)?’

‘Ada tiga hal..’ jawab orang khawarij tegas.

‘Apa saja itu?’ tanya Ibnu Abbas.

‘Pertama, dia menyerahkan urusan Allah kepada manusia, sehingga dia menjadi kafir. Karena Allah berfirman, ‘Tidak ada hukum kecuali hanya milik Allah.’ Apa urusan orang ini dengan hukum Allah?’

‘Ini satu..’ tukas Ibn Abbas

‘Kedua, Ali memerangi Muawiyah, namun tidak tuntas, tidak memperbudak mereka dan merampas harta mereka. Jika yang diperangi itu kafir, seharusnya dituntaskan dan diperbudak. Jika mereka mukmin, tidak halal memerangi mereka.’

‘Sudah dua.. lalu apa yang ketiga?’ kata Ibnu Abbas.

‘Dia tidak mau disebut amirul mukminin, berarti dia amirul kafirin.’
‘Ada lagi alasan kalian mengkafirkan Ali selain 3 ini?’ tanya Ibnu Abbas.

‘Cukup 3 ini.’ jawab mereka.

Mulailah Ibnu Abbas menjelaskan salah paham mereka,
‘Apa pendapat kalian, jika aku sampaikan kepada kalian firman Allah dan sunah Nabi-Nya, yang membantah pendapat kalian. Apakah kalian bersedia menerimanya?’

‘Ya, kami menerima.’ Jawab mereka.

‘Alasan kalian, Ali telah menunjuk seseorang untuk memutuskan hukum, akan kubacakan ayat dalam firman Allah, bahwa Allah menyerahkan hukum-Nya kepada manusia untuk menentukan harga ¼ dirham. Allah perintahkan agar seseorang memutuskan hal ini. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لاَ تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan[436], ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai sembelihan yang dibawa ke ka’bah. (QS. Al-Maidah: 95)

Aku sumpah kalian di hadapan Allah, apakah putusan seseorang dalam masalah kelinci atau hewan buruan lainnya, lebih mendesak dibandingkan keputusan seseorang untuk mendamaikan diantara mereka. Sementara kalian tahu, jika Allah berkehendak, tentu Dia yang memutuskan, dan tidak menyerahkannya kepada manusia?.’ Jelas Ibn Abbas.

‘Keputusan perdamaian lebih mendesak.’ Jawab mereka.
‘Allah juga berfirman tentang seorang suami dengan istrinya,
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلاَحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا
Jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya. (QS. An-Nisa: 35)

Aku sumpah kalian di hadapan Allah, bukankah keputusan seseorang untuk mendamaikan sengketa dan menghindari pertumpahan darah, lebih mendesak dibandingkan keputusan mereka terkait masalah keluarga?

‘Ya, itu lebih mendesak.’ Jawab khawarij.

Alasan kalian yang kedua, ‘Ali berperang namun tidak tuntas, tidak menjadikan lawan sebagai tawanan, dan tidak merampas harta mereka.’

Apakah kalian akan menjadikan ibunda kalian sebagai budak. Ibunda A’isyah radhiyallahu ‘anha, kemudian kalian menganggap halal memperlakukannya sebagai budak, sebagaimana budak pada umumnya, padahal dia ibunda kalian? Jika kalian menjawab, ‘Kami menganggap halal memperlakukannya sebagai budak, sebagaimana lainnya.’ berarti dengan jawaban ini kalian telah kafir. Dan jika kalian mengatakan, ‘Dia bukan ibunda kami’ kalian juga kafir. Karena Allah telah menegaskan,
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. (QS. Al-Ahzab: 6).

Dengan demikian, berarti kalian berada diantara dua kesesatan.
“Apakah kalian telah selesai dari masalah ini?” tanya Ibn Abbas

‘Ya..’ jawab mereka.

Alasan kalian yang ketiga, Ali menghapus gelar amirul mukminin darinya, saya akan sampaikan kepada kalian kisah dari orang yang kalian ridhai (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan saya kira kalian telah mendengarnya. Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat Hudaibiyah, beliau mengadakan perjanjian damai dengan orang musyrkin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada Ali: “Tulis, ini yang diputuskan oleh Muhammad rasulullah (utusan Allah).”

Maka orang-orang musyrik mengatakan, “Tidak bisa. Demi Allah,kami tidak mengakui bahwa kamu rasul Allah. Kalau kami mengakui kamu Rasul Allah, kami akan mentaatimu. Tulis saja, ‘Muhammad bin Abdillah.”

“Hapuslah wahai Ali, hapus tulisan utusan Allah. Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku utusan-Mu. Hapus wahai Ali, dan tulislah: ‘Ini perjanjian damai yang diputuskan Muhammad bin Abdillah.” Perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali.

“Demi Allah, Rasulullah lebih baik dari pada Ali. Namun beliau telah manghapus dari dirinya gelar rasul Allah. Dan beliau menghapus hal itu, tidaklah menyebabkan beliau gugur menjadi seorang nabi.

Apakah kalian telah selesai dari masalah yang ini?” jelas Ibnu Abbas

“Ya..” jawab khawarij.

Sejak peristiwa ini, ada sekitar 2000 orang khawarij yang bertaubat dan kembali bersama Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Sisanya diperangi oleh Ali bersama para sahabat Muhajirin dan Anshar.
(Khashais Ali bin Abi Thalib, An-Nasai, hlm. 20).

Peristiwa ini menunjukkan betapa bodohnya mereka terhadap islam dan al-Quran,

1. Tidak ada satupun ulama di kalangan mereka. Tidak ada satupun sahabat di kalangan mereka.

2. Mereka gunakan dalil al-Quran untuk mengkafirkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Merasa lebih tahu tentang al-Quran dari pada ulama (sahabat).

3. Mudah menafsirkan al-Quran dengan kebodohannya untuk menghukumi kafir orang lain.

4. Hanya bermodal semangat ’islam’, namun tidak belajar syariat yang sebenarnya.

5. Tidak bertanya dan konsultasi kepada ulama ketika bersikap, dan ini semua menjadi ciri khas khawarij.

Ref:
https://m.facebook.com/radiomuslimjogja/posts/707734739262742

Raihlah pahala dan kebaikan dengan membagikan link kajian Islam yang bermanfaat ini, melalui jejaring sosial Facebook, Twitter yang Anda miliki. Semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala membalas kebaikan Anda.