Badru Salam, حفظه الله تعالى
Dalam kaidah memvonis, tidak boleh memvonis dengan ma-aal atau laazimul qoul (konsekwensi perkataan).
Contohnya kalau ada orang berkata: tahdzir itu hendaknya yang melakukan adalah ulama.
Lalu ada orang yang memahami konsekwensinya, dia berkata begini: berarti tahdzir gak boleh dilakukan di indonesia karena gak ada ulama.
Ini kesalahan fatal.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata: (Dan adapun orang yang mengkafirkan manusia dengan ma-aal ucapan mereka, maka itu adalah salah, karena itu adalah dusta atas nama lawan dan penyandaran ucapan terhadapnya yang tidak pernah dia lontarkan, dan bila dia istiqamah (iltizam) terhadapnya maka dia tidak mendapatkan kecuali tanaqudl (kontradiksi) saja, sedangkan tanaqudl itu bukan kekafiran, bahkan dia telah baik karena ia telah lari dari kekafiran….) Hingga beliau berkata: (Maka benarlah bahwa tidak boleh seseorang dikafirkan kecuali dengan ucapannya itu sendiri dan penegasan keyakinannya, dan tidak ada manfa’atnya seseorang mengungkapkan tentang keyakinan orang lain dengan ungkapan yang dengannya dia memperindah kejelekannya, akan tetapi yang divonis dengannya adalah makna ungkapannya saja)” Al-Fashl 3/294.
Jadi kaidah yang baku di antara para ulama adalah bahwa (lazim suatu madzhab itu bukanlah madzhab (itu)).
Contoh lain adalah ketika saya menceritakan asal kejadian suriah bahwa asalnya adalah karena adanya demo.
Lalu ada orang memahami bahwa berarti perjuangan di suriah gak bener.
Inilah fenomena menghukumi dengan ma-aal atau laazimul qoul.
Batil tentunya.
Itulah akibat gak faham kaidah.
Capeeek dee..